Kenapa Menunggu?
Oleh Ahmad Zaelani
Sekarang adalah hari ini ditemani oleh kenyataan dan esok adalah harapan yang mungkin diselimuti oleh kekecewaan seperti hari yang lalu yang mana kekecewaan masih membayangi. Mungkin kalimat itu yang akan mengantarkan tulisan ini menuju titik fokus pada harapan yang entah akan terwujud kapan. Harapan itu sebenarnya ada di dalam sebuah lingkaran yang tak terputus, namun kadang ukuran lingkaran itu kecil bahkan besar. Kita tahu bahwa lingkaran tidaklah memiliki sisi, namun sepertinya hal tersebut ditolak dalam cerita ini. Lingkaran yang tak terputus itu nyatanya memiliki sisi, kadang aku di timur ia di barat, kadang aku di utara ia di selatan begitu pun sebaliknya, ia jarang sekali menyatukan lututnya dengan lututku bahkan hal tersebut bisa dibilang tak pernah. Tapi tak apa, dengan ia selalu ada di sisi lain dariku maka aku dengan leluasa menatap keindahan yang diberikan Tuhan kepada manusia walaupun keindahan tersebut sudah dimiliki manusia lainnya.
Oh iya aku sampai lupa bahwa yang ku maksud 'ia' adalah dirinya yang merespon garis 10 detik. Di awal aku katakan bahwa aku bisa menatap keindahan yang diberikan Tuhan kepada manusia, mungkin saat ini hanya diriku saja yang merasakan keindahan tersebut, atau hanya aku saja yang merasa terlalu percaya diri dengan menyebut bahwa itu adalah keindahan yang diberikan khusus untukku. Entahlah, memang benar apa kata orang di luar sana bahwa harapan harus sejalan dengan realitas, tapi menurutku tidak selalu seperti itu. Jika berbicara harapan harus sejalan dengan realita maka akan sia-sia apa yang aku lakukan saat ini.
Saat ini aku dan dirinya sedang berada dalam ruang yang sama, namun sayang dalam ruangan ini terdapat sekat yang cukup mengganggu. Oh tunggu maksudku mengganggu hanya untuk diriku bukan dirinya. Dalam ruang ini mungkin aku yang salah karena berani masuk tanpa berpikir panjang, tapi itu orang lain yang berkata bahwa aku tidak berpikir panjang, aku memutuskan untuk masuk ke ruang ini, masuk ke dalam ruang yang di dalamnya ada dirinya ditemani keindahan garis 10 detik sudah berpikir lebih lama bahkan… ah sudahlah tak perlu diungkit masa lalu yang penuh kekecewaan. Ingat apa yang aku katakana di atas bahwa hari ini adalah kenyataan dan masa lalu adalah kekecewaan.
Mengapa aku begitu bodoh melakukan hal ini? Masuk ke dalam ruang yang di dalamnya ada dirinya yang akhirnya ia pun mencoba menutup dirinya dengan sekat itu? Dasar tolol, itu sudah menjadi risiko, tak perlu disesali, ingat tujuan, ingat pertama kali dirimu ini memutuskan bahwa dia sebagai pemilik garis 10 detik adalah orang yang terakhir menjadi “teman”. Bukankah kamu sendiri yang sudah memantapkan niat untuk menunggu??
Aaaahhh… pemikiran macam apa itu? Aku heran apakah pikiran itu bisa dikatakan penyemangat untuk diri ini terus menunggu. Iya mungkin iya, aku memang sudah berniat untuk menunggu, tapi bukan berarti aku harus merusak sekat, tidak, aku tidak akan merusak sekat di ruangan ini, hanya saja aku ingin sekali mendobrak sekat ini agar keindahan 10 detik akan terlihat dengan sangat jelas dan bahkan tidak hanya 10 detik tapi sepanjang waktu.
Apa yang baru saja ku katakan adalah harapan, harapan untuk menjadikan dirinya teman terakhir sampai diri ini tak bisa menatap indahnya matahari terbenam dari jalan layang yang menjadi titik kesukaanku di kota ini.
Tapi apakah diri ini terlalu egois jika harus memaksakan kehendak tentang dirinya?
Sudahlah… hanya waktu yang bisa menjadi teman dirimu dalam menunggu sebuah keajaiban. Harapan tetap harapan walaupun nyatanya apa yang diri ini harapkan tidak sesuai dengan realita dan terlalu percaya diri.
Terima kasih garis keindahan 10 detik!
Bangun Nusa - 20 Juni 2015
Oleh Ahmad Zaelani
Sekarang adalah hari ini ditemani oleh kenyataan dan esok adalah harapan yang mungkin diselimuti oleh kekecewaan seperti hari yang lalu yang mana kekecewaan masih membayangi. Mungkin kalimat itu yang akan mengantarkan tulisan ini menuju titik fokus pada harapan yang entah akan terwujud kapan. Harapan itu sebenarnya ada di dalam sebuah lingkaran yang tak terputus, namun kadang ukuran lingkaran itu kecil bahkan besar. Kita tahu bahwa lingkaran tidaklah memiliki sisi, namun sepertinya hal tersebut ditolak dalam cerita ini. Lingkaran yang tak terputus itu nyatanya memiliki sisi, kadang aku di timur ia di barat, kadang aku di utara ia di selatan begitu pun sebaliknya, ia jarang sekali menyatukan lututnya dengan lututku bahkan hal tersebut bisa dibilang tak pernah. Tapi tak apa, dengan ia selalu ada di sisi lain dariku maka aku dengan leluasa menatap keindahan yang diberikan Tuhan kepada manusia walaupun keindahan tersebut sudah dimiliki manusia lainnya.
Oh iya aku sampai lupa bahwa yang ku maksud 'ia' adalah dirinya yang merespon garis 10 detik. Di awal aku katakan bahwa aku bisa menatap keindahan yang diberikan Tuhan kepada manusia, mungkin saat ini hanya diriku saja yang merasakan keindahan tersebut, atau hanya aku saja yang merasa terlalu percaya diri dengan menyebut bahwa itu adalah keindahan yang diberikan khusus untukku. Entahlah, memang benar apa kata orang di luar sana bahwa harapan harus sejalan dengan realitas, tapi menurutku tidak selalu seperti itu. Jika berbicara harapan harus sejalan dengan realita maka akan sia-sia apa yang aku lakukan saat ini.
Saat ini aku dan dirinya sedang berada dalam ruang yang sama, namun sayang dalam ruangan ini terdapat sekat yang cukup mengganggu. Oh tunggu maksudku mengganggu hanya untuk diriku bukan dirinya. Dalam ruang ini mungkin aku yang salah karena berani masuk tanpa berpikir panjang, tapi itu orang lain yang berkata bahwa aku tidak berpikir panjang, aku memutuskan untuk masuk ke ruang ini, masuk ke dalam ruang yang di dalamnya ada dirinya ditemani keindahan garis 10 detik sudah berpikir lebih lama bahkan… ah sudahlah tak perlu diungkit masa lalu yang penuh kekecewaan. Ingat apa yang aku katakana di atas bahwa hari ini adalah kenyataan dan masa lalu adalah kekecewaan.
Mengapa aku begitu bodoh melakukan hal ini? Masuk ke dalam ruang yang di dalamnya ada dirinya yang akhirnya ia pun mencoba menutup dirinya dengan sekat itu? Dasar tolol, itu sudah menjadi risiko, tak perlu disesali, ingat tujuan, ingat pertama kali dirimu ini memutuskan bahwa dia sebagai pemilik garis 10 detik adalah orang yang terakhir menjadi “teman”. Bukankah kamu sendiri yang sudah memantapkan niat untuk menunggu??
Aaaahhh… pemikiran macam apa itu? Aku heran apakah pikiran itu bisa dikatakan penyemangat untuk diri ini terus menunggu. Iya mungkin iya, aku memang sudah berniat untuk menunggu, tapi bukan berarti aku harus merusak sekat, tidak, aku tidak akan merusak sekat di ruangan ini, hanya saja aku ingin sekali mendobrak sekat ini agar keindahan 10 detik akan terlihat dengan sangat jelas dan bahkan tidak hanya 10 detik tapi sepanjang waktu.
Apa yang baru saja ku katakan adalah harapan, harapan untuk menjadikan dirinya teman terakhir sampai diri ini tak bisa menatap indahnya matahari terbenam dari jalan layang yang menjadi titik kesukaanku di kota ini.
Tapi apakah diri ini terlalu egois jika harus memaksakan kehendak tentang dirinya?
Sudahlah… hanya waktu yang bisa menjadi teman dirimu dalam menunggu sebuah keajaiban. Harapan tetap harapan walaupun nyatanya apa yang diri ini harapkan tidak sesuai dengan realita dan terlalu percaya diri.
Terima kasih garis keindahan 10 detik!
Bangun Nusa - 20 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar