SUDAH CUKUP
Anonymous
Aku baru saja mengakhiri hubunganku dengan Tia sebulan yang lalu, sangat sulit kenyataan ini ku terima sebab perasaan yang begitu dalam yang ku simpan dan ku jaga selama tiga tahun ini sangatlah kuat bahkan diri ini yakin bahwa kekuatan kasih cinta dan sayang ini tidak akan ada yang bisa menghancurkan. Mengingat hubungan yang berjalan sangat dramatis dan melankolis ini memang selalu membawa senyum tersendiri jika suatu ketika teringat dalam bayangan. Namun apa daya harapan akan kekuatan cinta ini tidak dapat bertahan jika yang memperjuangkannya hanyalah diri ini seorang. Sore itu ia meminta untuk mengakhiri semua ini, saat aku sedang sibuk akan tanggung jawab yang memang benar tidak bisa dilepaskan begitu saja. Diri ini berusaha sabar akan keputusan tersebut dan menganggap bahwa itu adalah kejenuhan seorang wanita semata yang nantinya akan kembali pada titik normal seperti sedia kala, karena disisi lain pula diri ini yakin akan dirinya. Hingga pada dua hari berlalu setelah kepenatan dan tanggung jawab akan pekerjaan berkurang sedikit, aku mulai berpikir tentang apa yang terjadi dan mengapa bisa sampai terjadi.
Malam itu pukul sebelas malam aku menyendiri di atas rumput hijau di temani cahaya rembulan yang terhalang oleh dahan pohon ditaman kampus. Aku teringat dengan apa yang baru saja terjadi dengan hubunganku ini. Mengapa bisa terjadi? Mengapa tiba-tiba ia menghilang dan memutuskan untuk mengakhiri? Aku periksa ponselku yang memang selalu tidak ada signal dikala aku berada di kampus. Aku mencari dan terus mencari batang demi batang signal yang ku harapkan akan membuahkan sesuatu. Yaa beberapa menit aku mendapatkan signal, seketika diri ini mencari namanya dan berusaha menghubunginya hingga tak sadar sudah puluhan kali ponsel ini menghubunginya namun taka da jawaban apapun darinya. Aku putuskan untuk segera pulang dan mencoba menghubunginya lagi di rumah.
Jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam, aku sampai pada kamar yang mengisahkan segalanya tentang dia dan tentang hubungan percintaan yang terjadi selama 3 tahun ini. Ku bergegas meraih ponsel dan terus menghubunginya tetap tidak ada jawaban baik darinya hingga ada dering pesan yang berisi bahwa ia tidak ingin ditelfon. Kekuatan kasih sayang dan cinta memang tidak pernah membohongi orang yang mengidapnya, perlahan tetesan air dari kelopak mata jatuh ke lantai secara perlahan dan bibir ini gemetar melihat dinding yang mengisahkan perjalanan semuanya.
BANGSAT! Untuk apa menulis seperti ini? Berharap akan ada perubahan dari hubungan yang sudah tak bernyawa? Masih mengharapkan ia akan kembali dengan tangisan kemudian memelukmu seperti pada waktu pertama ketika diri ini memutuskan hubungan? Jangan berharap terlalu tinggi! Ini bukan hanya soal kasih sayang dan cinta semata, tapi ini soal materi, ini soal persetujuan yang tak mungkin menyatu antara kalian? Sadarlah bahwa dirimu ini sudah dibuang ketika kamu menghampirinya pukul satu malam dan meneteskan air mata di depannya, sungguh perbuatan bodoh yang dilakukan seorang pria, menjatuhkan harga diri demi berjuang akan cinta kasih, perjuangan yang sia-sia ketika kamu menganggap ini soal kasih sayang semata. TIDAK!
Sadarlah bahwa, sudah cukup kau berjuang dalam kemacetan untuk menjemputnya, sudah cukup kau mendapat kemarahan akibat ia menunggu satu jam kedatanganmu untuk menjemputnya? sudah cukup kau merelakan absensi untuk bisa bertemu dengannya, sudah cukup kau tidak makan hanya demi mengumpulkan uang agar bisa mengajaknya pergi ke tempat yang sebenarnya tidak kau suka, sudah cukup kau mendengar cerita dari mulutnya mengenai barang-barang mewah yang ia inginkan, sudah cukup kau berbohong pada temanmu untuk tidak latihan hanya demi bertemu dengannya, sudah cukup kau mencari signal untuk menghubunginya di kampus yang selalu dianggapnya hutan, sudah cukup kau dibilang tukang ojek ketika ia ditelpon oleh orang tuanya, dan mungkin yang terakhir sudah cukup kau dikatakan tidak merindukan dirinya yang jelas-jelas selalu kau pikirkan setiap kali kau melangkah pergi.
Saat ini ia sudah mandiri, ia sudah tak memerlukan tukang ojek, ia sudah menemukan teman yang bisa mendengarkan ceritanya tentang barang-barang mewah yang diinginkannya, ia sudah bisa bepergian kemana pun tanpa harus menggunakan masker dan jaket, ia sudah bebas untuk tidak menunggu selama satu jam demi orang yang tidak penting, dan mungkin yang terakhir ia sudah terbebas dari segala ikatan yang selama ini kau genggam erat.
Selamat tinggal!
Ditulis pada 6/8/15
Anonymous
Aku baru saja mengakhiri hubunganku dengan Tia sebulan yang lalu, sangat sulit kenyataan ini ku terima sebab perasaan yang begitu dalam yang ku simpan dan ku jaga selama tiga tahun ini sangatlah kuat bahkan diri ini yakin bahwa kekuatan kasih cinta dan sayang ini tidak akan ada yang bisa menghancurkan. Mengingat hubungan yang berjalan sangat dramatis dan melankolis ini memang selalu membawa senyum tersendiri jika suatu ketika teringat dalam bayangan. Namun apa daya harapan akan kekuatan cinta ini tidak dapat bertahan jika yang memperjuangkannya hanyalah diri ini seorang. Sore itu ia meminta untuk mengakhiri semua ini, saat aku sedang sibuk akan tanggung jawab yang memang benar tidak bisa dilepaskan begitu saja. Diri ini berusaha sabar akan keputusan tersebut dan menganggap bahwa itu adalah kejenuhan seorang wanita semata yang nantinya akan kembali pada titik normal seperti sedia kala, karena disisi lain pula diri ini yakin akan dirinya. Hingga pada dua hari berlalu setelah kepenatan dan tanggung jawab akan pekerjaan berkurang sedikit, aku mulai berpikir tentang apa yang terjadi dan mengapa bisa sampai terjadi.
Malam itu pukul sebelas malam aku menyendiri di atas rumput hijau di temani cahaya rembulan yang terhalang oleh dahan pohon ditaman kampus. Aku teringat dengan apa yang baru saja terjadi dengan hubunganku ini. Mengapa bisa terjadi? Mengapa tiba-tiba ia menghilang dan memutuskan untuk mengakhiri? Aku periksa ponselku yang memang selalu tidak ada signal dikala aku berada di kampus. Aku mencari dan terus mencari batang demi batang signal yang ku harapkan akan membuahkan sesuatu. Yaa beberapa menit aku mendapatkan signal, seketika diri ini mencari namanya dan berusaha menghubunginya hingga tak sadar sudah puluhan kali ponsel ini menghubunginya namun taka da jawaban apapun darinya. Aku putuskan untuk segera pulang dan mencoba menghubunginya lagi di rumah.
Jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam, aku sampai pada kamar yang mengisahkan segalanya tentang dia dan tentang hubungan percintaan yang terjadi selama 3 tahun ini. Ku bergegas meraih ponsel dan terus menghubunginya tetap tidak ada jawaban baik darinya hingga ada dering pesan yang berisi bahwa ia tidak ingin ditelfon. Kekuatan kasih sayang dan cinta memang tidak pernah membohongi orang yang mengidapnya, perlahan tetesan air dari kelopak mata jatuh ke lantai secara perlahan dan bibir ini gemetar melihat dinding yang mengisahkan perjalanan semuanya.
BANGSAT! Untuk apa menulis seperti ini? Berharap akan ada perubahan dari hubungan yang sudah tak bernyawa? Masih mengharapkan ia akan kembali dengan tangisan kemudian memelukmu seperti pada waktu pertama ketika diri ini memutuskan hubungan? Jangan berharap terlalu tinggi! Ini bukan hanya soal kasih sayang dan cinta semata, tapi ini soal materi, ini soal persetujuan yang tak mungkin menyatu antara kalian? Sadarlah bahwa dirimu ini sudah dibuang ketika kamu menghampirinya pukul satu malam dan meneteskan air mata di depannya, sungguh perbuatan bodoh yang dilakukan seorang pria, menjatuhkan harga diri demi berjuang akan cinta kasih, perjuangan yang sia-sia ketika kamu menganggap ini soal kasih sayang semata. TIDAK!
Sadarlah bahwa, sudah cukup kau berjuang dalam kemacetan untuk menjemputnya, sudah cukup kau mendapat kemarahan akibat ia menunggu satu jam kedatanganmu untuk menjemputnya? sudah cukup kau merelakan absensi untuk bisa bertemu dengannya, sudah cukup kau tidak makan hanya demi mengumpulkan uang agar bisa mengajaknya pergi ke tempat yang sebenarnya tidak kau suka, sudah cukup kau mendengar cerita dari mulutnya mengenai barang-barang mewah yang ia inginkan, sudah cukup kau berbohong pada temanmu untuk tidak latihan hanya demi bertemu dengannya, sudah cukup kau mencari signal untuk menghubunginya di kampus yang selalu dianggapnya hutan, sudah cukup kau dibilang tukang ojek ketika ia ditelpon oleh orang tuanya, dan mungkin yang terakhir sudah cukup kau dikatakan tidak merindukan dirinya yang jelas-jelas selalu kau pikirkan setiap kali kau melangkah pergi.
Saat ini ia sudah mandiri, ia sudah tak memerlukan tukang ojek, ia sudah menemukan teman yang bisa mendengarkan ceritanya tentang barang-barang mewah yang diinginkannya, ia sudah bisa bepergian kemana pun tanpa harus menggunakan masker dan jaket, ia sudah bebas untuk tidak menunggu selama satu jam demi orang yang tidak penting, dan mungkin yang terakhir ia sudah terbebas dari segala ikatan yang selama ini kau genggam erat.
Selamat tinggal!
Ditulis pada 6/8/15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar