Anak Awan yang Tenggelam
Oleh Ahmad Zaelani
Malam kembali hadir bersama orang-orang yang terus bahagia akan datangnya gemerlap cahaya lampu yang menyinari sudut-sudut ruang. suara angin yang menampar daun ikut menemani malam yang seiring berjalannya waktu kian berubah menjadi dingin yang dapat menusuk tulang rusuk. Atau bahkan malam akan berubah menjadi beku, termasuk orang-orang disekitarnya ikut meramaikan malam.
Lihatlah, sekelompok orang datang dengan raut wajah yang berbeda-beda, ada yang senyum ceria yang menggambarkan kenyamanan dimana ia berada. Tapi ada salah satu orang yang entah mengapa raut wajahnya berbeda, tidak ceria, tidak tertawa bersama yang lain, seolah ingin memisahkan diri dari tempat ia berada. Ia berjalan pelan, dengan kepala dan pandangan tertunduk, kepalanya seakan sadang menahan benda berat diatas kepalanya.
Tunggu dulu...
Mengapa ia seperti itu? Bukankah ia adalah orang yang paling bersemangat di tiap harinya?
Dirinya seolah mengikuti suasana awan yang gelap namun enggan meneteskan tetesan-tetesan kerinduan. Pandangannya seperti kosong, tapi dari raut wajahnya terlihat ada sesuatu yang sedang ia pikirkan begitu dalam.
Baiklah tuan, mari kita amati orang yang sedang mengikuti kondisi awan.
Sampailah mereka di tempat yang berbeda dari biasanya. Tempat yang tidak seharusnya sekelompok orang ini berada.
Memang kali ini tempatnya bagus, terang, dan bersih, serta ada dinding kaca yang memantulkan apa yang kita lakukan.
Seorang bertubuh besar kemudian menghampirinya, ya dia adalah tetua di kelompok itu. Tampak si tetua cukup panik dengan keadaan yang ada dan mencoba menjelaskannya pada si orang itu. Tak lain dan tak bukan, si tetua ternyata memberikan amanah pada anak awan ini (Red: orang yang menundukan kepala mengikuti kondisi awan).
Sang anak awan segera melaksanakan apa yang diinginkan si tetua. Dengan awak yang tak begitu besar seperti tetua, ia berusaha menjalankan amanah yang diberikan dengan keyakinan dan harapan yang besar. Tepukan tangan sekali dua kali hingga tiga kali dibunyikan olehnya untuk mengkondisikan segala sesuatunya.
TAK ADA RESPON . . .
Tak ada jawaban 'iya',
Tak ada jawaban 'oke',
Tak ada jawaban 'siap',
Yang ada hanyalah keacuhan dari mereka kepada si anak awan.
Sekali dua kali hingga tiga kali ia lakukan seperti itu,
Tapi . . .
Jawabannya sama!
Baiklah mungkin ini memang yang pantas didapatkan oleh si anak awan karena tak memiliki sesuatu hal yag spesial, dan memang tak ada yang dapat dibanggakan dari dirinya, ia adalah orang yang tiap hari mengikuti kondisi alam dan menikmati apa yang sedang terjadi tanpa memprotes ketidaknyamanan yang dialami.
Suaranya kian mengecil, redup bahkan tenggelam oleh ocehan orang-orang busuk yang tak mendengar tepukan dan teriakan halusnya. Ia berusaha lagi dan lagi, namun ...
Hatinya merasa lelah dengan kondisi seperti ini, hingga ada satu pionir yang bersuara kemudian barulah mereka mendengarkan dan mengikuti ocehan orang itu, bukan si anak awan.
Baiklah tuan dan puan sekalian, sudah bisa kita terka mengapa si anak awan ini terus menundukkan kepalanya sepanjang perjalanan menuju tempat berdinding kaca yang berpantul. Hatinya tak sanggup akan kondisi ini, suaranya kian tenggelam tanpa ada sambutan hangat dari orang-orang busuk di dalamnya. Ia merasa tak ada arti sedikitpun kata-kata yang ia keluarkan. Perkataannya tenggelam atau bahkan sengaja ditenggelamkan oleh orang-orang di sekitarnya.
Dan ya satu lagi, satu hal mengapa ia terus menundukkan kepalanya mengikuti kondisi alam, memang benar ia menundukkan kepalanya karena suara kecilnya kian tenggelam, tapi coba lihat, ada yang janggal dari kelompok ini.
Lihatlah ini tak lengkap, ada yang kosong, tak ada garis senyum semangat disini.
Ah sudahlah tuan, sudah kiranya terjawab mengapa si anak awan mengikuti awan gelap dan angin dingin di malam yang gemerlap. Dua hal, ya dua hal yang menenggelamkan ia di dasar kebusukan.
Jakarta, 12 Novemer 2014
@ajhezae
Oleh Ahmad Zaelani
Malam kembali hadir bersama orang-orang yang terus bahagia akan datangnya gemerlap cahaya lampu yang menyinari sudut-sudut ruang. suara angin yang menampar daun ikut menemani malam yang seiring berjalannya waktu kian berubah menjadi dingin yang dapat menusuk tulang rusuk. Atau bahkan malam akan berubah menjadi beku, termasuk orang-orang disekitarnya ikut meramaikan malam.
Lihatlah, sekelompok orang datang dengan raut wajah yang berbeda-beda, ada yang senyum ceria yang menggambarkan kenyamanan dimana ia berada. Tapi ada salah satu orang yang entah mengapa raut wajahnya berbeda, tidak ceria, tidak tertawa bersama yang lain, seolah ingin memisahkan diri dari tempat ia berada. Ia berjalan pelan, dengan kepala dan pandangan tertunduk, kepalanya seakan sadang menahan benda berat diatas kepalanya.
Tunggu dulu...
Mengapa ia seperti itu? Bukankah ia adalah orang yang paling bersemangat di tiap harinya?
Dirinya seolah mengikuti suasana awan yang gelap namun enggan meneteskan tetesan-tetesan kerinduan. Pandangannya seperti kosong, tapi dari raut wajahnya terlihat ada sesuatu yang sedang ia pikirkan begitu dalam.
Baiklah tuan, mari kita amati orang yang sedang mengikuti kondisi awan.
Sampailah mereka di tempat yang berbeda dari biasanya. Tempat yang tidak seharusnya sekelompok orang ini berada.
Memang kali ini tempatnya bagus, terang, dan bersih, serta ada dinding kaca yang memantulkan apa yang kita lakukan.
Seorang bertubuh besar kemudian menghampirinya, ya dia adalah tetua di kelompok itu. Tampak si tetua cukup panik dengan keadaan yang ada dan mencoba menjelaskannya pada si orang itu. Tak lain dan tak bukan, si tetua ternyata memberikan amanah pada anak awan ini (Red: orang yang menundukan kepala mengikuti kondisi awan).
Sang anak awan segera melaksanakan apa yang diinginkan si tetua. Dengan awak yang tak begitu besar seperti tetua, ia berusaha menjalankan amanah yang diberikan dengan keyakinan dan harapan yang besar. Tepukan tangan sekali dua kali hingga tiga kali dibunyikan olehnya untuk mengkondisikan segala sesuatunya.
TAK ADA RESPON . . .
Tak ada jawaban 'iya',
Tak ada jawaban 'oke',
Tak ada jawaban 'siap',
Yang ada hanyalah keacuhan dari mereka kepada si anak awan.
Sekali dua kali hingga tiga kali ia lakukan seperti itu,
Tapi . . .
Jawabannya sama!
Baiklah mungkin ini memang yang pantas didapatkan oleh si anak awan karena tak memiliki sesuatu hal yag spesial, dan memang tak ada yang dapat dibanggakan dari dirinya, ia adalah orang yang tiap hari mengikuti kondisi alam dan menikmati apa yang sedang terjadi tanpa memprotes ketidaknyamanan yang dialami.
Suaranya kian mengecil, redup bahkan tenggelam oleh ocehan orang-orang busuk yang tak mendengar tepukan dan teriakan halusnya. Ia berusaha lagi dan lagi, namun ...
Hatinya merasa lelah dengan kondisi seperti ini, hingga ada satu pionir yang bersuara kemudian barulah mereka mendengarkan dan mengikuti ocehan orang itu, bukan si anak awan.
Baiklah tuan dan puan sekalian, sudah bisa kita terka mengapa si anak awan ini terus menundukkan kepalanya sepanjang perjalanan menuju tempat berdinding kaca yang berpantul. Hatinya tak sanggup akan kondisi ini, suaranya kian tenggelam tanpa ada sambutan hangat dari orang-orang busuk di dalamnya. Ia merasa tak ada arti sedikitpun kata-kata yang ia keluarkan. Perkataannya tenggelam atau bahkan sengaja ditenggelamkan oleh orang-orang di sekitarnya.
Dan ya satu lagi, satu hal mengapa ia terus menundukkan kepalanya mengikuti kondisi alam, memang benar ia menundukkan kepalanya karena suara kecilnya kian tenggelam, tapi coba lihat, ada yang janggal dari kelompok ini.
Lihatlah ini tak lengkap, ada yang kosong, tak ada garis senyum semangat disini.
Ah sudahlah tuan, sudah kiranya terjawab mengapa si anak awan mengikuti awan gelap dan angin dingin di malam yang gemerlap. Dua hal, ya dua hal yang menenggelamkan ia di dasar kebusukan.
Jakarta, 12 Novemer 2014
@ajhezae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar