Kamis, 02 November 2017

Teater Aero, Kembali ke Panggung Festival

Teater Aero SMA Negeri 33 Jakarta
JAKARTA. Sudah beberapa hari ini sedang berlangsung perhelatan tahunan yang dinanti-nanti di kalangan pelajar SMA Se-derajat di wilayah Jakarta Barat dan sekitarnya. Festival Teater Pelajar sudah memasuki tahun ke-16, umur yang sudah cukup matang untuk sebuah perhelatan teater yang diadakan tiap tahunnya. Festival Teater Pelajar yang berlangsung sejak Senin lalu, 31 Oktober 2017 diikuti oleh 24 grup dari wilayah Jakarta dan sekitarnya kini telah memasuki hari ketiga.
            Sejak pagi, kawasan Auditorium Gelanggang Remaja Jakarta Barat sudah disibukkan dengan kedatangan peserta pertama yang akan tampil di hari ketiga. Tumpukan peti dan beberapa karung berisi kertas Koran sudah bertebaran di sekitar Auditorium. Teater Aero sebagai peserta pertama yang tampil di hari itu mulai bersiap, beberapa menyiapkan set panggung dan para pemain mulai merias wajahnya.
            Teater Aero yang belakangan tenggelam dari dunia Festival Teater Pelajar kini mencoba menampakkan dirinya kembali di panggung Teater sebagai bentuk eksistensinya di dunia seni peran. Suatu pencapaian yang luar biasa jika suatu grup dapat memunculkan kembali jati dirinya ke hadapan masyarakat. Namun dengan tenggelamnya Teater Aero beberapa tahun ini membawa semangat yang menggebu untuk bangkit di panggung festival. Ini terlihat dari jumlah pasukan yang tidak terbilang banyak dibandingkan grup lainnya, terlebih pasukan yang ada sangat didominasi oleh perempuan.
            Tepat pada pukul 13.00 WIB, gong 1 sudah terdengar, semua persiapan pentas sudah siap di dalam Auditorium, hanya saja jumlah penonton masih kurang terlihat riuh di depan gedung pertunjukkan. Hal tersebut dipengaruhi akibat waktu pertunjukkan yang tidak memungkinkan bagi sebagian besar penikmat seni untuk menyaksikkan pertunjukkan. Untuk menyiasati hal tersebut para pasukan dari Teater Aero menggratiskan tiket masuk untuk orang-orang yang berada di sekitar gedung pertunjukkan. Ini sangat disayangkan baik itu dari managerial panitia penyelenggara mengenai waktu pertunjukkan serta soal apresiasi masyarakat terhadap dunia teater khususnya bagi pelajar sebagai pegiat awam. Padahal pada Festival Teater Pelajar 2017 ini Teater Aero mencoba untuk  membawakan lakon dari Irwan Jamal yang berjudul Aktor-Aktor Yang Tersesat Dalam Drama Tanda Tanya. Sebuah karya yang hadir dari kegelisahan para pegiat teater sesungguhnya yang sering terjadi dalam proses penciptaan karya. Terkait permasalahan managerial dan teknis penonton, nyatanya tidak menyurutkan semangat para pasukan Teater Aero untuk tetap melanjutkan pementasan.
            Selama kurang lebih 40 menit, teater Aero berhasil membawakan lakon Aktor-Aktor yang Tersesat Dalam Drama Tanda Tanya dengan cukup apik, dengan penataan kostum dari kain yang dibuat sedemikian rupa, tata rias karikatural, hingga set panggung yang dibentuk menjadi belah ketupat dengan penataan peti dan tumpukan koran menambah daya tarik pertunjukkan yang dibawakan dengan empat orang pemain.

Ahmad Zaelani
2/11/2017

Senin, 17 April 2017

KESANGATAN

KESANGATAN

Putih, kuning, hijau dan merah, warna lampu yang kupandangi betapa nikmatnya dalam kesunyian malam ini. Sunyi tanpa dekapan, tanpa senyum dan tawa. Cahaya yang kupandangi tak sedikit pun menyilaukan seperti biasanya, aku bahkan kuat memandang ke depan tanpa memandang ke belakang untuk menghidar dari hempasan sinar itu. Ku pandangi silih berganti ku cari celah secapat mungkin ketika ada yang menghalangi pandanganku. Entah ini akibat apa. Serasa tak penting penghujung malam ini, mataku serasa lebih kuat dari biasanya, padahal dari hatiku, ingin sekali ku percepat untuk mengganti hingga hari esok yang terang menderang, menuju cahaya yang mungkin akan lebih menyilaukan sehingga ku bisa menengok ke belakang untuk melihat betapa indahnya nikmat yang ku miliki dari kaca cembung itu.

Entah malam ini tak begitu nikmat, mungkin karena mulutku yang begitu kurang ajar, tak bisa mengikuti peraturan soal etika, yang tak bisa menahan gejolak untuk berkata rindu. "Halah! Persetan dengan rindu, tak perlu lagi rupanya digembar-gemborkan soal rindu itu. Cukup kau rasakan betapa rindunya dirimu sendiri" -kata batinku. Ini yang acap kali tersirat, mulutku harus bisa menahan untuk berkata hal itu, karena ku yakin ketika tak terbalas dan diriku tak dapat berbuat apa-apa hanya kekesalan yang datang tanpa mau tahu apa yang terjadi. Sudah cukuplah diri ini memuluk-muluk soal rindu, lihat!! Ini yang terjadi akibat diri ini terlalu kesangatan akan sesuatu.

Mungkin aku harus memberi porsi pada apa yang kulakukan, pada apa yang kurasakan, dan pada apa yang aku inginkan terhadap nikmat yang tiada duanya itu. Walau sungguh tak sedikit pun dalam batinku merasa sanggup menahan semuanya, menahan gejolak batin, menahan rangsangan akan sesuatu yang menyentuh jemariku dengan hangat.

Aku merasa harus melakukan hal lain, hal lain yang dapat berlaku untuk pelampiasan hasrat rindu, pelampiasan kesangatan rindu yang tak terbendung oleh sukma diri sendiri. Tanpa kenikmatan itu mengetahui apa yang ku rasa saat ini.

Ini sudah semakin larut, jam dinding semakin nyaring dalam bernyanyi, semakin sunyi tanpa dekapan malam yang hangat, beruntung malam ini dedaunan dari pohon yang rimba itu sampai tidak bergoyang sedikit pun. Bahkan rambut lemasku pun tak tergoyah oleh angin yang seakan enggan untuk menghembuskan pasukannya pada diriku. Lihat betapa rapuhnya dirimu yang tertelungkup dalam rupa rindu diri sendiri tanpa ada kemenangan dari rasa itu yang berbalik padaku.

Aku berdiri menantikan hempasan rindu berbalik menyusuri arah datangnya rindu bersama angin, bersama cahaya yang menyilaukan mata bersama nyanyian mesin yang munafik disana.


Jakarta,
Zae

Sabtu, 15 April 2017

MALAM PANJANG UNTUK CERITA TIADA AKHIR

GOODNINE

Masih dalam ruang yang sama, sempit, lusuh, dingin mencekam dari balik dinding, dengan alunan gerak baling-baling kipas yang sudah ringkih untuk berputar. Aku tertegun melihat sosoknya dalam potret. Kulihat matanya dengan bola mata sempurna, kulihat senyum indahnya yang terus memesona tiap kali ku tatap, parasnya yang tak kunjung berkurang akan keindahan yang terus menjadikannya lebih istimewa dari apapun. Ku ingat sentuhan-sentuhan halus lembutnya dari jemari yang tak tergores apa pun, dekapan hangat menyelimuti lekuk ringkihku.

Mataku bergeser kepada dinding kusam yang tertempel jejeran angka dengan nama hari, aku menemukan angka yang semenjak satu bulan yang lalu menjadi istimewa dibuatnya. Angka itu adalah angka terakhir yang menjadikan dirinya sebagai orang yang terakhir dari petualangan seorang ringkih sepertiku.

Aku belum sempat bercerita soal apa yang terjadi pada bulan yang lalu, perihal angka terakhir dari urutan angka dimanapun.
Hari itu, kuputuskan untuk membawanya pergi ke tempat yang belum pernah ia datangi, dan menurutku adalah tempat yang istimewa untuk aku dan dirinya. Tak akan ku beritahu kepadanya kemana akan ku bawa yang jelas segala hal sudah kupersiapkan. Sore itu ku datangi persinggahannya dengan penuh semangat, dengan penuh rasa berdebar yang begitu dahsyat. Masih dalam pandangan penuh kekaguman tak bosan diri ini untuk memuji ciptaanNya. Debu dan asap serta sorotan sinar matahri yang begitu menyilaukan tak jadi penghalang niat untuk mengambil langkah pasti pada hari itu. Akan ku ajak dirinya untuk melihat bagaimana proses penciptaan radiasi warna dari pantulan sinar matahari yang tertuang pada awan putih. Tidak terlalu buruk walau puncak pencahayaannya tidak dapat terlihat akibat awan yang terlalu egois menutup semuanya. Tapi sungguh, untuk apa diriku menyesalkan awan sialan itu kalau dalam realitanya, wanita yang duduk di sampingku itu lebih jauh menawan dibandingkan pantulan sinar matahari kala petang.

Malam tiba, jemari lembutnya ku arahkan pada kursi kaya dengan alas kayu yang dibawahnya adalah air laut yang tidak terlalu jernih, ku ajak dirinya menyaru dalam suasana hangat dengan cmpuran hembusan angin yang dingin ditemani musik yang tidak sesuai dengan suasana hati, tak lupa cahaya kecil dari lilin menutup ketidakselarasan musik dengan suasana yang ada. Akan ku sampaikan satu langkah pasti pada dirinya yang mungkin sudah bertanya untuk apa kesini jika disana ada tempat yang lebih ekonomis. Ya memang, tapi untuk hal yang seperti tiada tandingan istimewanya ini, tak seberapa jika langkah yang kutawarkan berhasil mencapai pintu selanjutnya. Ku ajak dia dalam sebuah permainan, permainan kata-kata penuh makna, yang akan membawanya pada situasi pertanyaan yang sangat penting bagi diriku.
Mulailah ia memainkan permainannya, ku tatap matanya penuh banyak pertanyaan dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada diriku nanti. Dengan penuh keyakinan, dia berhasil menyelesaikan permainan itu dengan tidak ada yang terlewatkan, aku sungguh yakin dirinya akan membukakan pintu jika ku ketuk, dan walau dia tidak membukakan pintu, akan ku ketuk ulang sampai beberapa kali, dan jika tetap tidak dibukakan, maka ku akan cari pintu lain, dan jika tidak ada, akan ku buat pinta lain agar aku bisa masuk dalam dunianya yang begitu istimewa.

Malam itu dengan sinar temaram dari api kecil, dia menerima langkah pastiku. Dia membukakan pintunya agar aku masuk dan berjalan bersama menuju ruang-ruang yang lain.
Aku memikirkan dirinya seperti aku membawa dariku bersama otakku di kepala, selagi otakku terus menempel maka ia akan selalu ada dalam benakku. Untuk ciptaannya yang istimewa, aku tawarkan satu permainan lagi kepadanya, ku minta padanya untuk menutup mata rapat-rapat, ku siapkan sesuatu yang sebenarnya sangat mendesak kupsersiapkannya. Ku beri aba-aba untuk dirinya membuka kelopak matanya, dan ya setangkai hasrat penuh cinta ku sematkan pada dirinya, pertanda bahwa kasih sayang sudah menjadi cinta yang utuh untuk dirinya.
Aku bawakan setangkai tanpa pembungkusnya, agar terkesan itu ku petik dari asalnya. Dan sesungguhnya aku tidak sanggup jika membawa puluhan tangkai, karena aku tak dapat menyembunyikannya darimu.

Malam itu menjadi malam yang sangat panjang untuk cerita yang tiada berakhir.
Happygoodnine👏

Senin, 20 Februari 2017

AIR TAK AKAN RELA MEMBASAHI PIPI MERONA LAGI

Ini bukanlah tulisan pembelaan dari seorang yang sudah dianggap brengsek. Tapi ini perlu karena kesalahpahaman sudah terjadi di linimasa.

AIR TAK AKAN RELA MEMBASAHI PIPI MERONA LAGI

Hari ini awan selalu gelap, tempat tidurku adalah teman terbaikku saat ini. Dia adalah saksi semua ceritaku.

Ada hal yang membuatku lega ketika ku melihat lini masa. Bersyukurlah karena ia telah membenciku sekarang. Itulah yang ia mau ketika kita bicara di taman dengan hembusan angin yang menusuk ke tulang, yang ketika ia meminjam jaket dan mengembalikannya kembali. Terima kasih Tuhan, kau memberikanku cara untuk dia bisa lebih mudah melupakan hal apa pun tentang diriku. Aku sekarang lebih siap menerima kebencian dan cacian baik dari dirinya atau temannya. Perihal keras kepala, egoistis, aku sudah berulang kali mengecek percakapanku dengannya yang beberapa hari lalu bahkan beberapa bulan yang lalu, dan ku telaah kembali apa aku bisa dengan terus menerus dalam keadaan seperti itu, sampai akhirnya aku sampaikan keputusan itu di malam hari yang penuh hembusan angin. Hingga akhirnya sekarang bisa kuhapus semua riwayat itu.
Aku sadar dua insan yang satu sudah tak berpihak pada satu pegangan akan sulit jalan yang dilalui. Kau tak perlu memaksakan kehendak. Aku mencoba melepasmu dengan cara yang sangat halus, agar kau pikir kita dalam keadaan baik. Tapi ternyata tidak. Kau tak menginginkan itu. Aku pun tak bisa berlanjut pada pegangan yang sama seperti dulu. Hingga akhirnya aku pahami perkataanmu di taman waktu lalu, kau lebih baik ditinggalkan ketika orang yang kasihi itu berbuat hal yang bisa dikatakan brengsek. Aku putuskan itu. Aku pilih jalan itu. Karena aku tak ingin air mata terus berada dalam pipi meronamu.
Aku pilih kita pergi bersama dan mungkin untuk yang terakhir kali. Sampai akhirnya kau melihat keganjalan dari pesan yang masuk di handphoneku, aku sengaja tak ingin bercerita, karena aku tau dirimu seperti apa. Aku ingin perjalanan yang berkualitas.
Hari ini, aku melihat tulisanmu, Aku bersyukur, karena dari itu, kau telah membenciku lebih dalam, dan ku yakin air matamu tak akan rela turun lagi membasahi pipimu yang merona. Dan sekarang ku tau bahwa kau menyesal telah mengenal dan percaya padaku tapi sungguh dari hati yang terdalam diri ini tak pernah menyesal telah mengenalmu. Aku beruntung mengenalmu, aku belajar soal kehidupan lain yang belum pernah ku tahu, terlebih soal kesenian. Kau hebat punya potensi luar biasa, tapi sayang tingkat kepercayaan dirimulah yang menguburnya, semoga nanti tidak ada yang mengubur potensimu. Dan lagi perihal seseorang yang kau sebut orang ketiga itu sangatlah tidak benar, tidak kaitannya soal kita kemudian merembet kepadanya, jelas itu salah. Bukan maksudku membelanya tapi memang itu tidak benar, dia tidak tahu menahu apa pun soal kita. Jadi tak ada yang berhak menilai bahwa ini semua hancur karena dia sebagai insan yang ketiga. Sudah ku katakan dengan jelas secara langsung padamu soal apa yang terjadi pada diriku ini, jadi tak perlu berperasangka buruk terhadap orang lain. Jika pun aku terpaut olehnya, aku terpaut setelah semua urusan rasa ini sudah berakhir. Jadi hapuskanlah perasangka buruk tentang orang lain. Terlebih pada diri sendiri.
Selamat! Sekarang kau menerima apa yang kau inginkan!
Terima kasih atas semuanya, bingkaimu tak akan ku hapus hingga kau pun yang meminta.

See you!
- Zae

Jumat, 17 Februari 2017

PERIHAL KECEWA YANG DATANG TERLALU CEPAT

PERIHAL KECEWA YANG DATANG TERLALU CEPAT

Air itu pun akan menetes juga walau yang lain dalam tawa
Beberapa hari yang lalu di malam yang penuh dengan gejolak batin dan pikiran mengawang, jalan penuh dengan pertanyaan apakah salah merasakan suatu hal yang mulai masuk ke tulang rusuk dengan begitu cepat, apakah salah mengenai respon perihal potret dan tawa dengan si bangsat? Hahahaa lupakanlah, memang diri ini yang terlalu memposisikan diri terlalu dalam. Besok-besok kalau memang tidak ingin berlanjut, berhentilah menatap bunga yang mulai merekah, dan palingkan wajahmu ke kotoran kucing yang asamnya meresap ke aliran darah.

Kita butuh istirahat malam itu. Tak enak rasanya dipaksakan melangkah lebih jauh untuk sekedar memanjakan perut. Ya memang kita butuh banyak berbincang soal apa pun itu, tapi terlihat matamu tak sanggup menatap cahaya jakarta rupanya. Mari kuantar kau keperistirahatan. Esok tiba aku terbangun dengan semangat yang membabi-buta, bukan karena aku ingin mendapat hadiah berlimpah, tapi sejujurnya hanya senyuman yang tak terkendali itulah yang membuat si asep terasa begitu muda tenaganya. Asep memang juara!

Mengapa asep yang juara? Kenapa bukan aku? Ya jelas kau bisa apa? Asep jelas punya tenaga sekian kilometer dibandingkan kau, jadi tak perlulah kau berbangga jika kau ini tepat waktu untuk menemuinya -__- tega kau sampai saat ini tidak membawanya ke salon untuk dirawat.
Ya dengan ini kunyatakan bahwa aseplah yang juara, dia memang hebat, bahkan saking hebatnya dia tak merengek menangis walau bajunya sudah kumal, walau aku jarang memandikannya seperti mereka yang lebih jantan dari asep.
Tapi memang hebat si asep, hari itu aku tepat menepikan si asep di depan peristirahatannya yang baru, dan mungkin akan menjadi tepian yang nyaman buat si asep untuk beberapa tahun ke depan, halah impian seorang babu mulai lagi rupanya.

Siang itu matahari rasanya sangat ingin dilihat, terasa sampai lapisan kulit terdalam kehangatannya, bahkan urat-uratku pun seperte tampak transparan tak tertutup kulit akibat pantulan cahaya yang mungkin akan semakin berlebihan aku menggambarkannya. Pertanyaan soal makanan! Iya itulah pertanyaan yang sangat sulit, bahkan sangat sulit dari ujian  teori pembuatan SIM. Bahkan aku harus menghabiskan setengah jam berkeliling dulu baru bisa mendapatkan tempat yang tepat demi suapan bahagia itu. Dan si bakso yang malang itu sepertinya tidak mengizinkan kita untuk melahapnya, ya mungkin karena cuaca yang kurang mendukung.
Hari itu dia mengatakan bahwa ingin menonton sebuah film berlatar budapest, dalam hatiku, film macam apa itu? Mau tangis-tangisan barang kali di depan layar putih yang lebar itu? Ah sudahlah. Kita coba cari tahu siapa penggarap film itu, apakah membuatku tertarik? Duh nyatanya aku lupa mengecek film apa itu, tapi sudah kepalang tanggung dengan keputusan mau menonton ya akhirnya kunikmatilah itu semua. Tapi nyatanyabaru saja film itu berputar sekitar 5 menit, aku sangat menikmati. Halah dasar pecundang, nyatanya diriku suka juga dengan film yang seperti ini. Haha memang harus ku akui bahwa film dari novel sang sastrawan ini memang bagus, tak terkecuali film yang sebelumnya. Nice movie 😊. Dan dari film tersebut ada banyak hal yang kupelajari soal mencinta, yakni soal ikhlas. Kurasa diri ini masih belum ikhlas soal cinta. Selain itu permainan kata-kata yang indah pun membuat aku menjadi tertarik untuk sedikit demi sedikit memperlakukannya dengan kata yang syahdu, dan lagi ini perihal besar dan kecil, tak selamanya yang besar itu akan membuat kebahagiaan walaupun memang dengan hal besar kita bisa merasakan kepuasan. Tapi dari yang kecillah akan menjadikan sekuanya besar. Itulah yang kupelajari dari film tersebut. Cukup menarik. Terlebih melihatnya bersama seorang yang sangat lembut hatinya, ku perhatikan air tubuhnya menetes dan membasahi pipinya. Sungguh menawan.

Selesai mengenai hal indah yang ada di budapest, aku berinisiatif keluar dari tempat yang sebenarnya agak sedikit memuakkan, dengan jejeran toko yang selalu minta untuk dikunjungi. Duh sialan kebiasaan burukku kembali terulang, kunci si asep tidak ada di kantong atau pun di tas. Haduh.. Yaa walaupun aku yakin si asep tidak akan kemana-kemana dan tidak ada yang mau membawanya. Tapi aku pun tak akan rela jika ia menghilang, ya walaupun dia memang sedikit menyusahkan. Hujan turun!! Aduh kita terjebak! Apa yang kau mau sekarang? Ice Cream? Yaa dia ingin itu. Mari kita kembali ke dalam untuk menemukannya. Memang bukan rejeki rupanya. Tidak ada satu pun toko yang menjual ice cream yang ia mau.
Aku berinisiatif untuk menerobos hujan itu, dan ya ia mau ternyata, sebenarnya aku pun tak ingin menerobos. Tapi karena aku ingin cepat menuruti keinginannya aku pun ingin mencari tahu bagaimana karakter dia ketika hujan, sebab ini adalah hujan yang yang pertama kali membasahi kita berdua. Dan yaa aku menemukan karakternya saat itu. Agak sedikit jengkel, dengan kostum match nya yang terkena air tapi membuat dirinya semakin lucu. Malam itu berlangsung sangat panjang, sampai akhirnya ditutup dengan sepiring nasi yang ia tak sanggup menghabisinya. Malam yang dingin dengan sentuhan yang hangat.

Esok harinya aku menjalankan suatu hal yang menurutku sangat salah dan fatal, tapi mau bagaimana lagi, itu harus terus berjalan. Kota yang sangat panas harus ku kunjungi dengan hati yang terus penuh kebimbangan. Temanku berkata bahwa ini harus menjadi rahasia yang harus terus ditutup, aku menyetujuinya di awal. Sampai akhirnya kutahan dirinya yang kuyakin diselimuti banyak pertanyaan mengenai kemana si bangsat ini. Sepulangnya dari kota yang sangat panas itu, ku putuskan untuk membantah saran kawanku, maaf bung sepertinya akan jadi masalah besar jika diriku tak berterus terang soal ini.
Sesampainya di rumah ku putuskan untuk bertemu secepat mungkin dari jadwal yang sudah direncanakan, dan ya ia pun justru sangat antusias, tapi ku yakin keanrusiasannya pasti sangat berbeda dari pada yang lalu, sebab aku sudah membeberkan sedikit soal apa yang akan kubicarakan. Hari eseok pun menjadi jadwal yang sangat mendadak dalam pertemuan kita. Yaa kita menilai ini sangat mendesak aku pun tak ingin lama dan tak mau menyimpan setitik rahasia apapun padanya.

Esok hari di sebuah bangku bundar dengan di tengahnya terdapat pohon hias yang tak berbunga, yang dilindungi pohon rindang yang sesekali cahaya metahari mendesak masuk menjumpai kita berdua, kita duduk bersantai dengan di sampingnya ada bekas minuman seseorang yang lagi di hadapan kita terdapat seseorang yang tampak beristirahat dari pekerjaannya. Disinilah ku ungkapkan semuanya yang telah terjadi pada hari kemarin, yang terjadi akibat aku sedikit mendiam padanya. Yang sedikit membuat ia mencari-cari soal diriku.

Hal yang menggegerkan itu pun aku sampaikan dengan sangat berhati-hati. Dan plesssss udara menjadi sangat panas ketika ia menjawab pernyataan itu dengan sangat santai tapi sejujurnya aku sangat tahu bahwa dirinya tak dapat menutupi rasa kecewanya dari apa yang kulakukan. Aku merasa sangat bodoh. Tapi kujelaskan sejelas-jelasnya tapi kurasa rasa kecewa itu lebih sangat jelas di warna wajahnya.
Percakapan terdiam seketika. Ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan ternyata ia menyerahkan Sekotak roti unyil! Whatttt!!! Dia ingat bahwa aku pernah bercerita soal roti unyil, dan tak disangka pula ia memilih srikaya sebagai rasa yang paling atas. Entah ini kebetulan atau apa yang jelas srikaya adalah kenikmatan yang sungguh menenangkan saat itu. Dan tak hanya itu, ia pun mengeluarkan sebotol air berwarna biru laut. Yapppp oceanaaaaaaa!! Kekecewaanku dengan apa yang aku lakukan semakin besar. Ia sangat memperhatikan hal kecil dariku namun yang kulakukan justru sebaliknya. Yaa penyesalan memang datang dari hasil keraguan yang begitu dalam.

Untuk sedikit menutupi rasa kekecewaannya, ku ajak dirinya melihat film, film apapun itu yang ada di jadwal. Tapi akhirnya kita memutuskan untuk melihat film dengan cover seorang pemuda yang beraama anjingnya. Kupilih film ini sebab tertulis jelas film ini adalah dari seorang penulis yang sama dari film yang sangat mengiris hati. Ini bukan sekedar soal anjing tapi ini soal manusia yang memegang prinsip kuat tentang kasih sayang terhadap suatu hal.
Kita harus menunggu selama satu jam rupanya, mungkin dengan duduk bersama kembali akan lebih terungkap soal rasa kecewanya itu, aku ingin mendengar lebih dalam semua yang dirasakan dirinya, aku ingin dirinya tak menyimpan rasa kesal dalam hati terhadap diriku, terus kupancing dan ya.. Aku terdiam lagi ketika ia mengungkapkannya tapi ku yakin itu belum semua. Sampai pada akhirnya kita duduk dalam ruang gelap, aku duduk sebelah kiri di samping seorang tua yang terus asyik mengunyah, sementara ia duduk di sebelah kanan di samping orang lalu lalang di tangga. Tontonan yang sangat menarik, tontonan yang haru dengan diselimuti banyak tawa. Tapi yang terlihat dari dirinya justru bukan haru karena tontonan. Ada dimana suatu scene sedang menceritakan tingkah pola anjing yang sangat menggemaskan dan lucu yang membuat diriku bahkan penonton yang lain pun tertawa, ia justru membasahi pipinya dengan air tubuhnya. Ada apa ini? Ini sangat aneh! Sesekali ku biarkan ia larut bersama air tubuhnya. Hingga akhirnya di scene selanjutnya air itu kembali membasahi pipinya, dan lagi bukan karena tontonan, aku yakin itu. Sebab tontonan saat itu sangatlah lucu. Menangis karena lucu? Itu tidak mungkin, aku tidak mempelajari hal itu dalam dirinya. Sampai akhirnya ia jatuh dalam pundak si kurus!!

Ujung cerita ini akan jadi pertanyaan besar akan sikapnya yang menangis dikala tontonan yang lucu.

Zae
11-15 Februari 2017

Rabu, 08 Februari 2017

PERSIS

PERSIS
Zae

Pagi itu aku bersiap dengan penuh semangat, aku coba bangkit dari tidurku dengan segera mungkin, ku raih handuk lusuhku yang tergantung di tembok dan bergegas menuju ruang kotak penuh air dan plesssss .... Ada orang!
"siapa di dalam?"
"Inahhh"
Ah sialan lu, suara adikkulah yang berada di dalam. Jarum jam terus berputar. Sepertinya akan sia-sia kalau aku menunggu depan ruangan itu. Ku raih ponselku yang mengingatkanku pada percakapan luar biasa tadi malam. Hmmm... Bicara soal percakapan dan malam, semalam itu aku baru bisa tertidur pukul 3 dini hari. Brengsek.. Kenapa mata ini bisa begitu kuat. Entahlah. Mungkin karena apa yang dibicarakan membuat semakin larut dalam heningnya malam dan hangatnya senyuman dari hasil reaksi kata-kata yang terucap. Dan lagi semalam itu mata dan pikiranku terasa lelah akibat kata-kata filsafat yang muluk-muluk dari Weber. Dan film Middle School menjadi pilihan. Itu film yang sangat bagus tapi entah mengapa pula baru kali ini aku tidak fokus pada film yang kutayangkan. Tak lain dan tak bukan ya karena notifikasi yang muncul di ponselku membuat daya tarik tersendiri yang akhirnya tombol pause dalam layar pun menjadi pilihan.

Bocah itu lama sekali berada di kamar mandi. Ku putuskan untuk meraih sarapan yang sudah tersedia lebih dulu. Dengan lahap ku habiskan. Ya berhubung semalam itu aku seperti kerja lembur. Lebih tepatnya jari tanganku yang tak kenal jam kerja. Suapan demi suapan berlalu hingga akhirnya manusia kecil yang selalu tidak pernah cantik itu membuka pintu kamar mandi. "Aah akhirnya, lama banget sih lu".. Tiba-tiba suara pintu kecil itu tertutup kembali. "Loh siapa ini di dalam"
"Bapak"
Aah sialan, keduluan lagi. Mengapa manusia di rumah ini tak mengerti kondisi orang-orang sepertiku. Kuraih ponselku lagi, dan kembali melakukan percakapan dengan penuh senyuman.

Urusan kamar mandi perlahan selesai. Aku bersiap, tapi serasa tak bisa lepas dari layar notifikasi itu. Aah terus saja kuladeni sampai akhirnya aku benar-benar melajukan si butut ke jalan raya yang kalian tau, itu adalah jalan raya terbesar dan terpanjang di Jakarta. Panas, ramai, pengap. Itulah yang terasa ketika si buntut melaju, tapi yang ada dalam bayanganku adalah wanita tanpa kulit ayam. Unik sekali.

Aah aku nampaknya sudah melenceng dari apa yang ingin kuceritakan. Persetan dengan kamar mandi, dengan ponsel dan juga dengan si butut. Kali ini yang terpenting adalah soal kulit ayam! Cukup lama ia datang, senyum tipis, pipi merona, jadi bumbu dalam dirinya.
Ah bangsat melenceng lagi!
Tak ada kejadian yang aneh, semua normal, yang aneh adalah "dia". Entahlah.
Sampai akhirnya ku meninggalkan sarang itu, ya mau tidak mau, masalah tugas dinas memang harus dilaksanakan, tanpa terkecuali, bahkan kalah berhalangan kau harus mengganti hari lain. Namanya juga dinas.

Sampailah pada tempat dinas yang perlahan semakin ku nikmati tempatnya karena semangat dan senyum yang luar biasa dari penghuninya. Ku terima suatu kabar yang sebenarnya biasa tapi setalah lama dirasa dan bergelayut dalam pikiran, hal tersebut menjadi sangat mengganggu, mungkin aku yang menempatkan diri terlalu dalam dan jauh dari pada seharusnya. Ia pergi bersamaan. Lantas apa yang harus dipikirkan toh bukankah itu lebih baik karena memang jadi tidak ada yang dikhawtirkan. Ya tapi sekali lagi mungkin diri ini yang terlalu jauh menempatkan diri. Sampai tak tahu bagaimana cara membedakan yang wajar dengan yang tidak. Aku mendapatkan kabar tersebut lantas aku mengingat kejadian sebelumnya dan ku ingat lagi perkataannya beberapa waktu soal ketidaktahuan dia terhadap kecemburuan. Inilah jawaban dari ketidaktahuannya itu. Aku membalas kabar itu dengan secukupnya bahkan tak seperti biasanya jika ia memperhatikan lebih detail apa yang kukatakan. Tapi nampaknya tidak terdeteksi apa-apa dari perkataanku. Pesan terputus selama 2 jam. Ya aku mencari-cari alasan untuk terputusnya itu. Lagi-lagi alasan dinaslah yang jadi penolong keberpura-puraan itu. Hahaha palsu.

Selesainya urusan dinas, ponsel kembali berbunyi, kabar kembali datang dan ini soal kebimbangannya, dan lagi ada satu hal yang membuat aku ini menganggap bahwa aku terlalu dalam dan jauh menempatkan diri. Ya silahkan semua itu bebas kau lakukan dengan apa dan siapa. Itu yang selayaknya terjadi sebenarnya. Hahaha bodoh!
Apa yang terasa kali ini mengingatkanku pada kejadian yang telah lama menghilang dari ingatanku. Mungkin sekitar 5 tahun yang lalu, ya 5 tahun yang lalu semasa SBY masih menjabat sebagai presiden RI. Hal ini kurasakan sama persis dengan waktu lalu. Dan apakah ini akibat rasa yang terlalu dalam dan terlalu jauh. Kalau memang iya, alangkah baiknya sebab 5 tahun yang lalu adalah rasa terdalam yang pernah ku alami sampai akhirnya terputus di depan pintu besi bercat hitam yang ditutup dengan pegangan halus dari tangan mulusnya. Aah laknat!!! Mengala jadi terlalu dalam mengingat, sudahlah! Yang jelas kejadian ini sama persis seperti waktu lalu.
5 tahun yang lalu...

Tapi jelas semua itu berbeda, dulu tetaplah menjadi dulu, dan yang sekarang akan menjadi masa depan kelak. Masa depan yang seperti apa? Itu tergantung bagaimana kita membawanya.

Selasa, 07 Februari 2017

TULANG DAN DAGING

TULANG DAN DAGING
Zae

Angin malam yang semakin hari semakin dingin membuatku enggan untuk beranjak dari kamar yang kalian sudah tau bahwa kamar yang ku singgahi adalah kamar busuk ini. Ditemani kipas yang bunyinya sudah tak merdu lagi dan hembusan anginnya pun sudah tak terasa seperi pendingin udara, yang bahkan tak dapat bergerak ke kanan dan kiri.  Aku lebih memilih membuka lembaran demi lembaran kata-kata filsafat iseng dari seorang Sosiolog, seperti Max Weber, Parsons atau bahkan Derkheim. Satu buku dua buku hingga buku selanjutnya membuatku cepat muak dengan kata-kata yang meraka ungkapkan dengan berbelit-belit soal teori sosial dan lainnya, ya tapi aku sadar kalau aku ini butuh pendalaman soal teori mereka. Dasar munafik!

Tak lama ku putuskan untuk bertolah pada mesin pencarian yang menjadi andalan setiap umat manusia di era modernisasi abad 21 ini. Ada banyak bentuk penyederhanaan kata yang kudapat ketimbang harus membaca tumpukan halaman dalam buku sialan itu. Tapi mungkin isinya tidak dapat dikatakan sialan melainkan akulah pembaca sialan yang selalu kesal ketika harus membaca berkali-kali untuk memahami teori orang-orang terdahulu itu. Sekiranya 6 lembar halaman untuk bab 1 tugas akhirku yang belum disetujui ini masih terlalu singkat, namun lebih baik kusudahi saja dulu, toh banner pemberitahuan di ponsel ku ini jauh lebih menarik ketimbang bacaan filsafat itu haha.

Ah aku sampai lupa bahwa judul yang kutulis malam ini adalah soal kulit ayam, dasar filsafat gendeng, kerjaannya melupakan fokus kulit ayam saja.

Sore tadi sudah kuputuskan untuk benar-benar mengakhiri permainan kata-kata dari seseorang yang telah kukenal lama ya walau pun tidak terlalu mendalami bagaimana soal diri. Ah tapi lupakan, yang jelas semua sudah selesai. Perihal keputusan presiden waktu lalu dan tadi perihal stasiun, ku harap tak perlu disebutkan lagi dalam tulisan sekarang atau yang selanjutnya, tapi kalau pemirsa ingin mengetahuinya ya silahkan saja mengunjungi postingan sebelum ini, walaupun tulisannya sedikit ngasal.

Kemarin menjadi malam penuh teka-teki, sekaligus menjadi malam penuh ungkapan rahasia, atau bahkan penuh dengan tawa dan senyum kecil yang kudapat dari dekat, bahkan kalau kemarin ku sempat mengukur jarak antara tulang dan daging itu mungkin kurang dari 20cm. Sungguh beruntung. Jelas kukatakan ini beruntung, siapa sangka jarak sedekat itu ku bisa rasakan dengan hangat ketulusannya? Ya hanya tulang dan daginglah yang tau.
Malam itu ditemani semangkuk es cukup melegakan tenggorokan yang sudah lama tak terjamah oleh butiran es. Sangat nikmat, perbincangan halus terasa sangat indah. Kenapa halus? Ya jelas itu tempat umum dan kita duduk di sebelah orang yang tak kita kenal siapa dia. Wajarlah bicara seperti berbisik padahal itu tempat umum. Cukup menyulitkan kala itu. Gelagat demi gelagat kuperhatikan respon tiap respon ku cermati. Ada yang tidak nyaman sepertinya. Dan tentu ketidaknyamanan itu bukan karena tempat, malainkan dengan pembicaraan yang sebenarnya aku juga segan membicarakannya. Tapi aku tidak ingin katakan, takut ia malu. Kupercepat suapan bubur panas itu yang sampai sekarang membuat lidahku ini seperti terbakar. Mau bagaimana lagi, aku lebih baik cepat pindah dari warung sialan itu ketimbang harus mengeluarkan kata yang banyak tapi terdengar dengan jelas ocehanku oleh orang asing.

Ku putuskan untuk memilih layar putih yang lebar sebagai tujuan selanjutnya, ia setuju dan bahkan terlihat sangat tertarik. Tapi ketika sampai tak ku sangka dia tak tau apa yang akan kita lakukan. Dasar tulang. Ku lihat ada sedikit genangan di kelopak mata tatkala sebuah cerita telah diperdengarkannya mengenai kesedihan seorang isteri. Sungguh mengharukan mungkin untuknya. Aku pun terharu, tapi sepertinya haruku tercampur oleh kesanjungan diri yang mungkin sekarang sangatlah istimewa. Tapi dengan sangat malu ia tak ingin mengakui bahwa tak ada genangan air sedikit pun di kelopaknya. Ya biarkanlah itu jadi rahasianya.

Informasi demi informasi ku dapat sampai pada hal yang mengejutkan, mengejutkan dalam arti aku tak pernah mendengar ada hal seperti ini di dunia. Ya perihal makan memakan. Aku pribadi bahkan semua orang kebanyakan di dunia ini tentulah penggemar daging bahkan daging tikus pun diolah menjadi bakso, apa itu bukan kenikmatan artinya? tapi bukan daging manusia jelasnya. Unik, ini merupakan hal unik sebab orang itu justru lebih suka dengan tulang ketimbang daging. Bahkan ia pun rela mengantri tulang orang lain untuk dimakannya. Dasar udik. Eh tapi walaupun udik, tak masalah bagiku. Toh aku dapat mengambil sisi positifnya. Jadi ketika aku makan daging yang menempel di tulang. Aku akan menghabisi dagingnya secara lahap dan mengumpulkan tulang belulang, dan kemudian tulang belulang itu tak perlu dibuang begitu saja melainkan untuk dimakannya. Hahaha.

Lucu, semua yang dikatakannya itu lucu! Lebih lucu dari pada presiden kita ketika menendang bola saat pembukaan piala presiden kemarin. Hahaha.