Senin, 29 April 2013

Kasih Yang Tercapai - Part 2



berikut adalah lanjutan dari cerita "Kasih Yang Tercapai" sebelumnya.. mari disimak baik-baik kelanjutan kisahnya, selamat membaca ..


Kasih Yang Tercapai - PART 2

                Suasana malam yang sangat sepi, angin yang berhembus kencang terasa sampai kedalam tubuhku dan mencoba menusuk tulang-tulangku. Di suasana yang seperti itu tiba-tiba lewatlah sebuah mobil yang ternyata di dalamnya adalah Mas Panji Wijaya, ia berhenti dan keluar dari dalam mobilnya.
                “hey kamu masih nunggu angkutan ya?” Tanya Mas Panji,
                “iya mas, aku nunggu angkutan yang biasa” jawabku
“ini sudah hampir tengah malam Ren, angkutan sudah jarang ada yang lewat sini, sudah lebih baik kamu bareng dengan saya ya..” jelasnya membujukku agar ikut dengannya.
“baiklah pak kalu begitu, maaf yaa ngerepotin” sahutku dan menerima tawarannya.
Sepanjang perjalanan ternyata aku tertidur pulas, aku terbangun ketika sudah sampai di depan rumah.
                “Ren.. Rena… bangun Ren sudah sampai nih..” katanya dan  membangunkanku
Aku terkejut ketika Mas Panji membangunkanku. “iii iyaa Mas, maaf sepanjang perjalanan aku tertidur.” Kataku
“iya tidak apa-apa, pasti kamu lelah sekali, sana masuk terusin tidurnya di dalam.” Jawabnya dan menyuruhku meneruskan tidur.
“iya Mas, makasih ya atas tumpangannya” kataku dengan senang hati
“iya sama-sama koq Ren, sana masuk, besok jangan sampai telat yaa” pintanya.
Aku pun turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah sambil membawa berbagai naskah yang belum selesai diedit.
Keesokan harinya aku kembali bekerja di depan meja kerjaku dan seperti biasa beragam naskah sedang menunggu untuk diedit. Namun ketikaku sedang asik mengedit naskah tiba-tiba datang Mba Sinta dengan muka yang seperti biasa selalu mencekam.
“hehh Ren, nih ada naskah silahkan kamu edit yang bener” pintanya sambil melempar setumpuk naskah ke mejaku.
“baik Mba, nanti akan saya kerjakan” jawabku dengan terkejut.
Ketika malam hari Rena kembali pulang dan membawa pekerjaannya ke rumah. Udara malam yang dingin ditambah turunnya hujan membuat suasana menjadi sangat dingin. Aku pun bergegas untuk pulang, aku berjalan seperti biasa sambil menunggu angkutan yang lewat. Namun tak berapa lama aku menunggu tiba-tiba ada seorang dengan mengendarai sepeda motor yang cukup besar berhenti di depan ku, dan ternyata ia adalah Ryan.
                “heyy, Rena? Ngapain kamu disini hujan-hujan” sahut Ryan
“ehh Ryan, iya ini aku Rena, biasa aku lagi nunggu angkutan, kan aku sekarang sudah kerja.” Jawabku dengan tersenyum melihat wajahnya
“oh jadi sekarang kamu kerja di Era Com? Wah hebat dong bisa kerja di perusahaan terkenal”
“ya sudah Ren mending kamu bareng aku yuk, nih aku bawa jas hujan 2 koq, ok” tanyanya dengan sedikit bercanda
                “iya  yan makasih yah” jawabku dengan senang hati

Tanpa disadari dari kejauhan ternyata Panji memperhatikan Rena yang sedang menunggu angkutan sambil membawa begitu banyak naskah untuk diedit dirumahnya. Ia terus memperhatikan karyawan barunya itu yang setiap hari selalumembawa pekerjaannya kerumah. Terlintas di benaknya sebuah pertanyaan mengapa ia selalu membawa begitu banyak naskah? Apa yang sebenarnya terjadi pada Rena?.

Hari berikutnya, Panji yang kemarin memperhatikan Rena membawa begitu banyak naskah untuk diedit, mencoba menyelidiki semua ini. Ia coba mendatangi meja kerja Rena di pagi hari sebelum Rena sampai ke kantor. dan Panji pun melihat ada sesuatu yang aneh, terlihat beberapa naskah yang sedang diedit oleh Rena namun ternyata naskah-naskah tersebut adalah naskah yang novelnya sudah diterbitkan. Sontak ini membuat Panji terkejut mengapa Rena sampai mengerjakan tersebut dan siapa yang memintanya mengerjakan semua ini. Tak berpikir panjang, Panji langsung bertanya kepada pengawas editor, ternyata yang menyuruh Rena mengerjakan semua ini adalah Sinta, pimpinan perusahaan disini. Lantas Panji pun mendatangi Sinta dan menanyakan apakah benar apa yang dikatakan pengawas editor tersebut dan ternyata “Iya” Sinta mengaku bahwa yang menyuruh Rena mengedit naskah-naskah tersebut adalah dia.
“Sinta, jawab pertanyaanku, mengapa kamu melakukan semua ini kepada Rena?” Tanya Panji
“iya karena aku tidak suka dengan anak itu, aku tidak suka dengan pegawai kesayanganmu itu, ngerti” jawab Sinta dengan kesal.
“untuk apa kamu melakukan ini? Apa salah Rena?” Tanya Panji
“ingat ya, aku ini pewaris tunggal dan pemilik saham 100% di perusahaan ini jadi siapa saja yang berani macam-macam samaku maka tak segan-segan aku akan memecatnya, dan dia sudah berani mendekati tunanganku” Jelas Sinta.
“ok Sinta, aku dan Rena itu tidak ada apa-apa, kita berdua hanyalah rekan kerja, aku bos dan dia pegawaiku, paham” kataku mencoba menenangkan Sinta.
“sudahlah….” Jawab Sinta dan terus meninggalkan Panji.

Malam berikutnya ketika aku pulang dari kerja dan membawa berbagai naskah untuk diedit ternyata Mas Panji mengikutiku dari belakang dan ketika aku sampai di rumah dan turun dari ojek yang ku tumpangi, tiba-tiba Mas Panji menghampiriku.
                “Rena… .” panggil Mas Panji
                “eeee.. Mas Panji? Koq bisa ada disini? mau apa?” tanyaku dengan heran.
                “gini Ren, mulai sekarang tinggalkan semua naskah yang kau bawa itu” pinta Mas Panji
                “loh kenapa Mas? Ini kan pekerjaanku?” Tanyaku tambah heran
“iya Ren, jadi semua naskah yang kamu kerjakan itu sebenarnya sudah diterbitkan, ya anggap saja semua ini adalah proses penyesuaian diri terhadap pekerjaanmu ok” jelas Mas Panji mencoba menutupi yang sebenarnya terjadi
“oohh jadi ini semua sebenarnya rekayasa?” sahutku
“iya benar, jadi mulai besok kamu mulai dengan pekerjaan yang sebenarnya” pinta mas Panji
“baiklah Mas kalau begitu” jawabku

Keesokan harinya seperti biasa pagi yang cerah menyambutku dengan ceria. Pagi hari ketika ku sudah berada di meja kerjaku, Mas Panji menghampiriku dan memberikan sebuah naskah baru yang harus diedit.
“Ren, ini ada naskah baru yang harus kamu edit, tolong dikerjakan ya, paling lambat 3 hari” pintanya dengan penuh senyum
“ohh iya Mas, kali ini naskahnya benar-benar baru kan?” tanyaku
“iya Ren, yang ini baru” jawabnya meyakinkan.

Semakin hari seiring berjalannya waktu hubungan Mas Panji denganku menjadi semakin dekat. Entah apa maksudnya dengan kedekatan semua ini, tetapi semua ini ku anggap hanya sebatas rekan kerja. Namun dengan kedekatanku dan Mas Panji, Mba Sinta semakin benci denganku, dia berusaha mengeluarkanku dari kantor hingga suatu hari aku dipanggil ke dalam ruangannya.
“Ren, dipanggil Mba Sinta tuh di ruangannya.” Pinta salah satu pegawai disana
“oh iya makasih ya.” Jawabku
“toktoktoookk….” Suara pintu ke ketok
“ya masuk.” Jawab Mba Sinta dari dalam ruangan
“maaf Mba, ada apa ya Mba manggil saya kesini.” Tanyaku bingung
“nih surat pemecatan anda.” Jawabnya dengan ketus sambil menyerahkan sebuah surat.
“maksudnya apa Mba? Apa salah saya?” tanyaku dengan sangat heran.
“sudah, mulai sekarang jangan pernah datang lagi ke kantor ini.” Pintanya
“tapi atas dasar apa Mba Sinta memecat saya.” Tanyaku lagi
“ingat ya saya adalah pemilik saham terbesar di perusahaan ini, 100%. Ingat itu!! Jadi saya berhak untuk memecat siapa saja di perusahaan ini.” Jelasnya dengan sangat emosi
“ok saya terima, tapi ingat Mba saya bisa melaporkan anda ke Depnagker atas pemecatan tanpa alas an yang jelas seperti ini.” Jawabku yang ikut emosi sambil mengancam
“silahkan saja kalu anda mau melaporkan saya.” Tantangnya dengan penuh percaya diri

Aku pun langsung meninggalkan ruangan itu dan kembali ke meja kerja untuk membereskan semua peralatan kerja yang ada. Aku segera meninggalkan kantor itu, namun ketika ku membereskan mejaku, datang Mas Panji yang milahat ku dari kejauhan.
“Rena.. kamu kenapa ren? Apa yang sedang terjadi?.” Sahutnya dan bertanya kepadaku
Aku tak menjawab apa yang ditanyakan oleh Mas Panji. Aku langsung berlari keluar kantor dan meninggalkan Mas Panji. Namun Mas Panji mengejarku dan menahanku pergi di depan kantor.
“Rena tunggu Rena, jawab aku, apa yang telah terjadi?.” Tanyanya
Lariku terhenti karena tarikannya.
“harusnya sebagai bos kamu tahu apa yang terjadi di dalam kantor ini, tanyakan saja semua kepada Mba Sinta apa yang terjadi!!.” Jawabku dengan sangat kesal
“apa Mba Sinta? Apa yang dilakukannya terhadapmu Ren?.” Tanyanya lagi.
“sudahlah Mas, kamu tanyakan saja padanya.” Jawabku dan langsung meninggalkan kantor dan Mas Panji.

Hari itu juga Mas Panji menemui Mba Sinta saat makan siang di sebuah restoran untuk membicarakan apa yang terjadi terhadap Rena sampai ia meninggalkan kantor seperti itu.
“Sinta, jawab pertanyaanku, mengapa tadi pagi Rena keluar dari kantor dan membereskan semua peralalatan kerjanya?.” Tanya Mas panji dengan Kesal
“aku telah memecatnya sebagai pegawai di kantor ini, kenapa?.” Jelas Mba Sinta dan bertanya balik
“apa? Atas dasar apa kamu memecatnya?.” Tanya Mas Panji
“inget Panji, aku ini pemilik saham terbesar di perusahaan ini, jadi terserah aku kalau aku memecat Rena dari perusahaan ini, ngerti.” Kata Mba Sinta
Mas Panji pun terdiam setiap kali Mba Sinta berkata seperti itu, seolah-olah Mba Sinta adalah penguasa disini.
“ingat Mas, kamu tuh bukan apa-apa sebelum kamu kenal aku, kamu itu Cuma penulis biasa dengan penghasilan yang menunggu omset 6 bulan sekali.” Jelas Mba Sinta tambah ketus
Mas Panji pun mulai gerah dengan semua perkataan Mba sinta.
“ok kamu adalah pemilik saham terbesar disini, tapi ingat kamu tidak bisa apa-apa tanpa bantuan pegawai-pagawai yang lain Sin, silahkan kamu pecat semua pegawaimu dan kamu bekerja sendiri. Apa kamu bisa.” Jawab Mas Panji mencoba membuat Sinta mengerti
“ooohhh Jadi sekarang Mas Panji sudah berani melawan ku semenjak kenal dengan wanita editor itu iya.” Kata Mba Sinta dan langsung beranjak dari kursi dan meninggalkan Mas Panji.

                Seusai menanyakan masalah yang terjadi kepada Mba Sinta, Mas Panji pun berniat untuk menemuiku di rumahku.
Ia pun sampai dirumahku.
                “permisi, Rena…” sahut Mas Panji
                “iya..” ibuku menjawab sambil membukakan pintu
                “Renanya ada bu?” Tanya Mas Panji kepada ibuku
                “Oh.. Rena iya ada, tunggu sebentar yaa.. mari silahkan masuk” pinta ibuku
                “iya bu makasih” jawab Mas Panji
                Mas Panji pun duduk dan menunggu Rena di ruang tamu..
Setelah menunggu beberapa menit datanglah Rena ke ruang tamu menghampiri Mas Panji.

Pembaca yang baik, apakah tujuan sebenarnya Mas Panji mendatangi Rena dirumahnya? Apakah yang akan terjadi pada Rena dan Mas Panji selanjutnya? akankah Rena justru bertengkar dengan Mas Panji? Dari pada penasaran tunggu aja kisah selanjutnya dalam Kasih Yang Tercapai Part 3.

Selasa, 05 Maret 2013

kumpulan cerpen, Tolong ..!!!


Tolong .. !!!
oleh @ajhezae
 
                Suatu pagi di tengah ramainya kota metropolitan yang megah, terdapat seorang pemulung bernama Rudi, ia berusia sekitar 30 tahun, tubuhnya sangat kurus bagai orang yang tak pernah bertemu dengan nasi dan penampilannya pun acak-acakan seperti pemulung pada umumnya. Ia memiliki seorang putri bernama Aisyah yang berum ur 3 tahun. Kondisi Aisyah tak kalah buruk dengan sang ayah, ia terlihat lemas tanpa nutrisi yang cukup. Ia berbaring dan ikut ayahnya setiap hari memulung kardus dan benda-benda yang dapat dijual kembali, ia berbaring di sebuah gerobak reot yang selalu dipakai ayahnya memulung. Setelah diselidiki mengapa Aisyah berbaring terus dalam gerobak reot itu ternyata ia sedang sakit muntaber. Aisyah sudah sakit selama 4 hari dan belum mendapatkan pertolongan sedikitpun. Sebenarnya Rudi ingin sekali membawa Aisyah ke rumah sakit atau puskesmas, namun apa boleh buat Rudi hanya mempunyai uang Rp.4000 rupiah dan itu tentunya tidak cukup untuk biaya berobat Aisyah, dia hanyalah seorang pemulung yang berpenghasilan hanya Rp.10000,- per hari. Rudi hanya bisa berharap Aisyah dapat sembuh dengan sendirinya. Sampai hari keenam, sakit yang diderita Aisyah makin betambah parah hingga ia tak kuasa menahan sakit dan menghembuskan napas terakhirnya pada sabtu pagi. Aisyah meninggal di depan sang ayah dengan keadaan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Sang ayah pun langsung menangis menyesali semua ini.
                “maafkan aku nak, aku tak bisa merawat dan menjagamu dengan baik. Semoga kau tenang di alam sana ya nak, maafkan ayah.” Ucapnya dalam tangis yang begitu dalam kepada mayat sang anak.
                Rudi lantas mngecek isi kantongnya, dan ternyata di dalam kantongnya hanya terdapat uang sebanyak Rp.6000,- dan itu tak mungkin cukup membeli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil Aisyah dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans. Aisyah masih terbaring dalam gerobak dengan keadaan tidak bernyawa.
                “aku tidak punya cukup uang, lebih baik Aisyah ku bawa ke kampung agar bisa dimakamkan disana, dan juga mudah-mudahan aku mendapat bantuan dari sesama pemulung disana.” Kata Rudi dalam hati sambil menangis tersenyum melihat buah hatinya.
                Tepat pukul 10:00 dengan cuaca yang cukup terik, akhirnya Rudi sampai di sebuah stasiun dengan membawa gerobak yang berisikan mayat anaknya. Dan yang tersisah hanyalah sarung yang sudah kucel yang kemudian dipakai untuk membungkus jenazah Aisyah. Kepala sang anak dibiarkan terbuka agar semua orang tahu bahwa putrinya sudah menghadap sang khalik. Ketika kereta yang akan menuju kampung halaman Rudi tiba, ia pun langsung masuk. Namun tiba-tiba salah seorang pedagang menghampiri Rudi dan menanyakan anaknya.
                “Maaf Pak, apa yang terjadi dengan anak bapak?.” Tanya pedagang itu
“Anak saya sudah meninggal bu, ia meninggal karena sakit muntaber dan tidak mendapatkan pertolongan obat sedikitpun.” Jawab Rudi dengan meratap wajah Aisyah.
“Innalilahi wa’inailaihi rojiun, kenapa tidak dibawa ke Puskesmas atau Rumah Sakit pak?” tanyanya kembali
“saya tidak punya cukup uang untuk membawanya ke Puskesmas bu, apalagi ke Rumah Sakit, saya hanya seorang pemulung kardus yang berpenghasilan Rp.10000,- per hari. Dan sekarang saya akan membawa jenazah anak saya ke kampung untuk dimakamkan disana” Jelas Rudi
Spontan penumpang kereta yang berada di dekat Rudi dan pedagang itu terkejut mendengar penjelasan tersebut, Rudi pun langsung dibawa ke kantor polisi oleh penumpang lainnya. Dan sesampainya di kantor polisi, ia diminta agar membawa anaknya ke Rumah Sakit terdekat.
Rudi memaksa agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan, namun ia hanya bisa bersandar di tembok dan menunggu surat permintaan pulang dari Rumah Sakit tersebut sambil memandangi mayat anaknya yang terbujur kaku. Hingga pukul 15:00, akhirnya petugas Rumah Sakit mengeluarkan surat tersebut, namun lagi-lagi karena tidak punya uang untuk menyewa ambulans, Rudi pun terpaksa membawa jenazah anaknya ke kampung halaman dengan berjalan kaki menggendong Aisyah. Sungguh beruntung masih ada warga yang iba dan memberikan sedikit bantuan sekadarnya kepada Rudi seperti ongkos untuk pulang ke kampung halaman dan pedagang di sekitar Rumah Sakit yang melihat Rudi juga memberikan air minum kemasan untuk bekal di perjalanan.
Dalam perjalanan pulang yang sungguh mengharukan itu, Rudi terus menatap wajah anaknya dan berharap agar bisa sampai lebih cepat. Atas bantuan sekedarnya yang diberikan warga sekitar Rumah Sakit, akhirnya Rudi bisa sampai di kampung halamannya dengan menggendong  jenazah anaknya Aisyah. Sesampainya di kampung halaman Rudi langsung memberitahukan kepada para tetangganya bahwa anaknya telah meninggal, dan ia pun langsung mendapat bantuan dari sesama pemulung dan kemudian langsung memakamkan jenazah Aisyah dengan semestinya.