Senin, 17 April 2017

KESANGATAN

KESANGATAN

Putih, kuning, hijau dan merah, warna lampu yang kupandangi betapa nikmatnya dalam kesunyian malam ini. Sunyi tanpa dekapan, tanpa senyum dan tawa. Cahaya yang kupandangi tak sedikit pun menyilaukan seperti biasanya, aku bahkan kuat memandang ke depan tanpa memandang ke belakang untuk menghidar dari hempasan sinar itu. Ku pandangi silih berganti ku cari celah secapat mungkin ketika ada yang menghalangi pandanganku. Entah ini akibat apa. Serasa tak penting penghujung malam ini, mataku serasa lebih kuat dari biasanya, padahal dari hatiku, ingin sekali ku percepat untuk mengganti hingga hari esok yang terang menderang, menuju cahaya yang mungkin akan lebih menyilaukan sehingga ku bisa menengok ke belakang untuk melihat betapa indahnya nikmat yang ku miliki dari kaca cembung itu.

Entah malam ini tak begitu nikmat, mungkin karena mulutku yang begitu kurang ajar, tak bisa mengikuti peraturan soal etika, yang tak bisa menahan gejolak untuk berkata rindu. "Halah! Persetan dengan rindu, tak perlu lagi rupanya digembar-gemborkan soal rindu itu. Cukup kau rasakan betapa rindunya dirimu sendiri" -kata batinku. Ini yang acap kali tersirat, mulutku harus bisa menahan untuk berkata hal itu, karena ku yakin ketika tak terbalas dan diriku tak dapat berbuat apa-apa hanya kekesalan yang datang tanpa mau tahu apa yang terjadi. Sudah cukuplah diri ini memuluk-muluk soal rindu, lihat!! Ini yang terjadi akibat diri ini terlalu kesangatan akan sesuatu.

Mungkin aku harus memberi porsi pada apa yang kulakukan, pada apa yang kurasakan, dan pada apa yang aku inginkan terhadap nikmat yang tiada duanya itu. Walau sungguh tak sedikit pun dalam batinku merasa sanggup menahan semuanya, menahan gejolak batin, menahan rangsangan akan sesuatu yang menyentuh jemariku dengan hangat.

Aku merasa harus melakukan hal lain, hal lain yang dapat berlaku untuk pelampiasan hasrat rindu, pelampiasan kesangatan rindu yang tak terbendung oleh sukma diri sendiri. Tanpa kenikmatan itu mengetahui apa yang ku rasa saat ini.

Ini sudah semakin larut, jam dinding semakin nyaring dalam bernyanyi, semakin sunyi tanpa dekapan malam yang hangat, beruntung malam ini dedaunan dari pohon yang rimba itu sampai tidak bergoyang sedikit pun. Bahkan rambut lemasku pun tak tergoyah oleh angin yang seakan enggan untuk menghembuskan pasukannya pada diriku. Lihat betapa rapuhnya dirimu yang tertelungkup dalam rupa rindu diri sendiri tanpa ada kemenangan dari rasa itu yang berbalik padaku.

Aku berdiri menantikan hempasan rindu berbalik menyusuri arah datangnya rindu bersama angin, bersama cahaya yang menyilaukan mata bersama nyanyian mesin yang munafik disana.


Jakarta,
Zae

Sabtu, 15 April 2017

MALAM PANJANG UNTUK CERITA TIADA AKHIR

GOODNINE

Masih dalam ruang yang sama, sempit, lusuh, dingin mencekam dari balik dinding, dengan alunan gerak baling-baling kipas yang sudah ringkih untuk berputar. Aku tertegun melihat sosoknya dalam potret. Kulihat matanya dengan bola mata sempurna, kulihat senyum indahnya yang terus memesona tiap kali ku tatap, parasnya yang tak kunjung berkurang akan keindahan yang terus menjadikannya lebih istimewa dari apapun. Ku ingat sentuhan-sentuhan halus lembutnya dari jemari yang tak tergores apa pun, dekapan hangat menyelimuti lekuk ringkihku.

Mataku bergeser kepada dinding kusam yang tertempel jejeran angka dengan nama hari, aku menemukan angka yang semenjak satu bulan yang lalu menjadi istimewa dibuatnya. Angka itu adalah angka terakhir yang menjadikan dirinya sebagai orang yang terakhir dari petualangan seorang ringkih sepertiku.

Aku belum sempat bercerita soal apa yang terjadi pada bulan yang lalu, perihal angka terakhir dari urutan angka dimanapun.
Hari itu, kuputuskan untuk membawanya pergi ke tempat yang belum pernah ia datangi, dan menurutku adalah tempat yang istimewa untuk aku dan dirinya. Tak akan ku beritahu kepadanya kemana akan ku bawa yang jelas segala hal sudah kupersiapkan. Sore itu ku datangi persinggahannya dengan penuh semangat, dengan penuh rasa berdebar yang begitu dahsyat. Masih dalam pandangan penuh kekaguman tak bosan diri ini untuk memuji ciptaanNya. Debu dan asap serta sorotan sinar matahri yang begitu menyilaukan tak jadi penghalang niat untuk mengambil langkah pasti pada hari itu. Akan ku ajak dirinya untuk melihat bagaimana proses penciptaan radiasi warna dari pantulan sinar matahari yang tertuang pada awan putih. Tidak terlalu buruk walau puncak pencahayaannya tidak dapat terlihat akibat awan yang terlalu egois menutup semuanya. Tapi sungguh, untuk apa diriku menyesalkan awan sialan itu kalau dalam realitanya, wanita yang duduk di sampingku itu lebih jauh menawan dibandingkan pantulan sinar matahari kala petang.

Malam tiba, jemari lembutnya ku arahkan pada kursi kaya dengan alas kayu yang dibawahnya adalah air laut yang tidak terlalu jernih, ku ajak dirinya menyaru dalam suasana hangat dengan cmpuran hembusan angin yang dingin ditemani musik yang tidak sesuai dengan suasana hati, tak lupa cahaya kecil dari lilin menutup ketidakselarasan musik dengan suasana yang ada. Akan ku sampaikan satu langkah pasti pada dirinya yang mungkin sudah bertanya untuk apa kesini jika disana ada tempat yang lebih ekonomis. Ya memang, tapi untuk hal yang seperti tiada tandingan istimewanya ini, tak seberapa jika langkah yang kutawarkan berhasil mencapai pintu selanjutnya. Ku ajak dia dalam sebuah permainan, permainan kata-kata penuh makna, yang akan membawanya pada situasi pertanyaan yang sangat penting bagi diriku.
Mulailah ia memainkan permainannya, ku tatap matanya penuh banyak pertanyaan dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada diriku nanti. Dengan penuh keyakinan, dia berhasil menyelesaikan permainan itu dengan tidak ada yang terlewatkan, aku sungguh yakin dirinya akan membukakan pintu jika ku ketuk, dan walau dia tidak membukakan pintu, akan ku ketuk ulang sampai beberapa kali, dan jika tetap tidak dibukakan, maka ku akan cari pintu lain, dan jika tidak ada, akan ku buat pinta lain agar aku bisa masuk dalam dunianya yang begitu istimewa.

Malam itu dengan sinar temaram dari api kecil, dia menerima langkah pastiku. Dia membukakan pintunya agar aku masuk dan berjalan bersama menuju ruang-ruang yang lain.
Aku memikirkan dirinya seperti aku membawa dariku bersama otakku di kepala, selagi otakku terus menempel maka ia akan selalu ada dalam benakku. Untuk ciptaannya yang istimewa, aku tawarkan satu permainan lagi kepadanya, ku minta padanya untuk menutup mata rapat-rapat, ku siapkan sesuatu yang sebenarnya sangat mendesak kupsersiapkannya. Ku beri aba-aba untuk dirinya membuka kelopak matanya, dan ya setangkai hasrat penuh cinta ku sematkan pada dirinya, pertanda bahwa kasih sayang sudah menjadi cinta yang utuh untuk dirinya.
Aku bawakan setangkai tanpa pembungkusnya, agar terkesan itu ku petik dari asalnya. Dan sesungguhnya aku tidak sanggup jika membawa puluhan tangkai, karena aku tak dapat menyembunyikannya darimu.

Malam itu menjadi malam yang sangat panjang untuk cerita yang tiada berakhir.
Happygoodnine👏